ARTIKEL
Kajian Kitab : Karamah Ihya’ Ulumuddin
Era modern pada masa sekarang ini banyak orang yang berpikir materialis, positivistik (kebenaran hanya yang bersifat kasat mata) dan menegasikan/ tidak percaya hal-hal yang metafisik. Sedangkan dalam pandangan Islam sendiri, kepercayaan terhadap yang metafisis menjadi tiang utama. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an;
ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
Artinya; “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Al-Baqarah: 3)
Dalam banyak tafsir, kata (ٱلْغَيْبِ)Yang ghaib’ ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
Selain itu, kejadian yang ada kaitannya dengan hal ‘ghaib’ yakni eksistensi Mukjizat, Karamah, Ma’unah, Irhas dan lain sebagainya. Ada banyak riwayat dan khabar tentang adanya hal-hal yang diluar akal sehat manusia. Salah satunya keistimewaan kitab Ihya’ Ulumudin yang diragukan oleh Ibnu Harzhahim.
Abul Hasan Ali bin Harzahim (seorang ahli fiqih yang terkenal di negeri Maghrib/Maroko) pernah meragukan kitab monumental Ihya’ Ulumudin karya besar Imam al Ghazali. Bahkan ia sempat berencana membakar salinan-salinan kitab tersebut, namun urung setelah mimpi bertemu Rasulullah SAW.
Beliau adalah salah seorang Ulama besar yang getol mempelajari keilmuan hadits, tidak terkecuali dalam kitab Ihya’ Ulumudin yang notabene banyak mengandung dalil Hadits. Sudah tiga hari ia dirundung gelisah lantaran ia mendapati kitab Ihya’ Ulumuddin berdasarkan telaah dan penelitiannya, penuh dengan hadis daif dan tidak begitu kuat keaslian sanad dan matannya.
Pun masa sekarang banyak sekali orang yang meragukan otentisitas dan kebenaran hadits dalam Ihya’ Ulumudin. Kegelisahannya itu mendorong pada sebuah keputusan untuk memusnahkan salinan kitab tersebut. Segera ia umumkan kepada penduduk kota, bahwa siapa saja yang memiliki salinan kitab Ihya Ulumiddin harus dikumpulkan di balai pertemuan.
Mula-mula banyak yang menolak. Namun, karena karisma, kealiman, dan kezuhudan Abul Hasan Ali bin Harzahim akhirnya membuat mereka menaati pengumuman tersebut. Penduduk kemudian berbondong-bondong menyerahkan naskah kitab Ihya Ulumuddin yang mereka miliki. Saat naskah sudah terkumpul banyak, ternyata hari telah larut. Atas instruksi Abul Hasan Ali bin Harzahim, semua naskah akan dibakar keesokan harinya setelah shalat jumat.
Ketika malam belum begitu larut, tiba-tiba Abul Hasan Ali bin Harzahim merasa amat lelah. Beberapa saat kemudian kantuk pun datang dan membuatnya terlelap. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi Rasulullah Saw bersama sahabat Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab ra dan Abu Hamid Al-Ghazali, penulis kitab Ihya Ulumuddin, sebuah karya yang dalam tiga hari belakangan mengusik ketenangan hidupnya.
Ketika ia hendak mendekat kepada Rasulullah, Al-Ghazali tiba-tiba berkata, “Orang ini, Abul Hasan Ali bin Harzahim ini, membenci dan memusuhiku, ya Rasulullah. Jika memang masalahnya adalah sebagaimana yang ia sangka, maka tentu aku akan langsung bertobat. Tapi, jika tidak, maka bagiku berkahmu senantiasa untukku dan aku masuk ke dalam golongan hamba yang mengikuti sunnahmu.”
Mendengar ucapan Al-Ghazali, Rasulullah Saw segera mengambil kitab Ihya Ulumuddin dan membukanya halaman demi halaman.
“Demi Allah yang mengutusmu dan membimbingmu (ke arah kebenaran), ini benar-benar sesuatu yang baik,” ucap Rasulullah.
Kemudian kitab Ihya’ ini diberikan kepada Abu Bakar ash Shiddiq ra, beliau pun melihatnya dan menganggap baik kitab tersebut, kemudian beliau berkata: “Benar, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya (kitab) ini ialah kitab yang sangat baik.” kata Abu Bakar.
Kemudian (kitab ini) diberikan lagi kepada “al Faruq” Umar bin Khattab ra, lalu beliau melihat isi kitab itu, dan beliau pun memujinya sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Abu Bakar ash Shiddiq ra. Kemudian Rasulullah Muhammad saw memerintahkan untuk membuka gamis Abul Hasan Ali bin Harzahim dan menyuruh untuk menghukumnya dengan cambukan karena fitnah dan tuduhannya terhadap Imam Al-Ghazali.
Hukuman cambuk pun dilaksanakan. Pada cambukan kelima, Abu Bakar Ash-Shiddiq menginterupsi Rasulullah. Ia membelanya karena tak tega melihat Abul Hasan Ali bin Harzahim. “Demi Allah, Ya Rasulullah, Abul Hasan Ali bin Harzahim adalah orang yang telah menjaga hadis dan sunahmu. Ia hanya menyangka ada penyelewengan yang menimpa hadismu. Sayangnya prasangkanya salah. Ia adalah hamba yang mulia,” ucap Abu Bakar.
Akhirnya cambukan dihentikan, hukuman diakhiri, dan saat itu pula Abul Hasan Ali bin Harzahim terbangun dari mimpinya dan ternyata bekas cambukan tersebut masih membekas di punggungnya.
Lalu ia pun segera memberitahukan kepada murid-muridnya mengenai mimpi tersebut dan bertaubat kepada Allah swt atas pengingkarannya kepada Imam al Ghazali dan beristighfar.
Rasa sakit bekas cambukan itu cukup lama dan dia terus-menerus memohon ampunan kepada Allah Swt dan meminta syafa’at kepada Rasulullah Saw. Hingga akhirnya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw yang kemudian mengusap punggung Abul Hasan Ali bin Harzahim dengan tangan beliau Saw yang mulia, dan ia sembuh dengan izin Allah swt.
Kisah ini sangat populer diriwayatkan dalam banyak versi. Salah satunya diabadikan dalam kitab Ta’riiful Ahyai bi fadhaailil Ihyaai (1987) karya Zainuddin Al-Iraqi. Dalam kitab tersebut Al-Iraqi juga menyatakan keunggulan Ihya’ Ulumuddin;
“Kitab tersebut termasuk kitab yang paling agung dalam persoalan pengetahuan halal dan haram. Ia menghimpun hukum-hukum perkara lahiriah, dan memberikan landasan pemahaman seluk baluk dan rahasia-rahasianya. Kitab ini mendedahkan mutiara-mutiara indah. Menggunakan metode-metode moderatisme karena mengikuti ucapan imam Ali, ‘Sebaik-baik urusan umat ini adalah yang tengahtengah, yang diikuti generasi selanjutnya dan orang yang berlebihan kembali padanya”.
Kitab Ihya Ulumuddin yang sempat disangsikan oleh Abul Hasan Ali bin Harzahim hingga saat ini merupakan pegangan bagi kalangan penganut tasawuf amali.