Kutipan Khutbah Jum’at oleh Ustadz Yazid Mubarok, S.Pd dengan Judul 4 Karakter Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW

Kutipan Khutbah Jum’at oleh Ustadz Yazid Mubarok, S.Pd dengan Judul 4 Karakter Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Masjid Darunnajah Pondok Pesantren Darul Amanah.
Jum’at, 20 Oktober 2023.

==============================

  1. Kita sebagai manusia telah mendapatkan mandat dari Allah untuk menjadi pemimpin ‎di muka bumi guna memakmurkan kehidupan diatasnya. Oleh karena itu, setiap ‎individu kita adalah pemimpin, walaupun dengan kapasitas yang berbeda-beda. Ada ‎yang menjadi pemimpin negara, pemimpin daerah, pemimpin organisasai, pemimpin ‎keluarga, atau minimal pemimpin untuk diri kita sendiri.‎

Lalu pertanyaannya, figur siapa yang harus kita contoh dalam menjalankan tugas ‎kepemimpinan ini? Jawabanya jelas, yaitu figur kepemimpinan baginda nabi, penghulu ‎para rasul Nabi Muhammad S.A.W ‎

  1. Berkaitan dengan hal ini, Allah telah menjelaskan bagaimana karakter kepemimpinan ‎Rasulullah dalam firmannya surat at-Taubah 128:‎
    لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ‏
    ‎“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu ‎sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan ‎‎(keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang ‎terhadap orang-orang mukmin.” (QS at-Taubah: 128)‎
  2. Ayat ini menjelaskan empat hal karakter kepemimpinan yang ada pada diri rasul.
    • a. Pertama, ‎رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ‎ : rasul dari kaummu sendiri. Allah menurunkan risalah kepada ‎umat manusia melalui sosok mulia yang juga manusia, bukan jin, bukan juga malaikat ‎yang sukar dijangkau. Hal ini mengandung hikmah agar manusia mudah dalam ‎meneladani sosoknya. Nabi Muhammad SAW adalah figur yang sangat dekat dengan ‎umatnya, memahami dan sanggup berkomunikasi secara baik dengan sasaran ‎dakwahnya.‎
    • Sebagaimana manusia lainnya, Rasulullah merasakan apa yang dirasakan makhluk fisik ‎pada umumnya: lapar, haus, butuh istirahat, bisa terluka, kepanasan, dan lain ‎sebagainya. Namun, justru dari sinilah umatnya bisa belajar keteladanan luar biasa ‎tentang kesederhanaan, kesabaran, keikhlasan, kejujuran, kedermawanan, dan sifat-‎sifat positif lainnya dalam wujud yang sangat nyata. Rasulullah tampil dalam wujud ‎yang manusiawi, juga sekaligus sarat nilai-nilai kemanusiaan.‎
    • b. Kedua, ‎عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ‎ : Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami. Rasulullah ‎memiliki empati yang amat tinggi terhadap penderitaan umatnya. Karenanya, beliau ‎memberi teladan kepemimpinan yang tidak memberatkan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya ‎mengaitkan kalimat ‘azîzun ‘alahi mâ ‘anittum dengan hadits:‎ إِنَّ هَذَا الدِّيْنَ يُسْرٌ “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah kemudahan.”‎
    • Dengan bahasa lain, Rasulullah sama sekali tak menghendaki adanya hal-hal yang ‎menyulitkan umatnya dalam menunaikan ibadah. Sebagai contoh, Shalat tahajud yang ‎Nabi laksanakan tiap malam secara istiqamah di masjid. Begitu tahu sahabat-‎sahabatnya berbondong-bondong meneladani rutinitasnya, Rasulullah beberapa hari ‎kemudian tak pergi ke masjid. Alasannya, Nabi tak ingin memberi kesan bahwa shalat ‎tahajud wajib sehingga bakal memberatkan umatnya di kemudian hari. Rasulullah juga ‎pernah menegur sahabatnya, Mu’adz, yang membaca bacaan terlalu panjang saat ‎memimpin shalat berjamaah. Nabi menegaskan, seorang imam harus ‎mempertimbangkan makmumnya yang mungkin terdiri dari orang tua dan orang-orang ‎yang mempunyai keperluan.‎
    • c. Ketiga, ‎حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ‎ : sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Ibnu ‎Katsir saat menerangkan harîshun ‘alaikum menghubungkannya dengan hidayah dan ‎kemaslahatan bagi umatnya baik di dunia maupun di akhirat. Nabi mendorong ‎umatnya agar memiliki kesadaran ilahiyah dalam setiap hembusan nafas, Nabi juga ‎sangat menginginkan tersingkirnya mudarat dari umatnya baik duniawi maupun ‎ukhrawi.‎d. Keempat, ‎بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ‎ : penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin. ‎Ayat tersebut menegaskan tentang sifat Nabi yang raûf (welas asih) lagi ‎rahîm (penyayang) kepada umatnya. Rahmat atau kasih sayang tersebut mewujud ‎dalam karakter kepemimpinan Rasulullah yang tidak kasar menghadapi masyarakat. ‎Beliau juga gemar memaafkan dan memohonkan ampun ketika umatnya yang berlaku ‎salah. Seperti yang dituturkan Al-Qur’an:‎
    • فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ ‏
      • ‎“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap ‎mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan ‎menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan ‎untuk mereka (QS Ali Imran: 159)‎
  1. Demikianlah karakter Nabi Muhammad SAW yang kita yakini sebagai teladan paling ‎ideal bagi umat manusia. Keyakinan ini juga dibenarkan oleh ayat suci bahwa di dalam ‎diri Rasulullah ada contoh yang baik (al-Ahzab: 22). Namun yang menjadi pertanyaan, ‎seberapa besar kesadaran tentang hal itu tertanam kuat dalam masing-masing diri kita ‎lalu mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari?‎

Semoga kita semua mampu menyerap pelajaran dari watak pemimpin agung kita ‎tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. ‎