Kajian Fiqih : “Nusyuz (Purik)” – Ustadz Badrudin, S.Pd.I

Kajian Fiqih : “Nusyuz” – Ustadz Badrudin, S.Pd.I

Mendengar kata nusyuz, masih cukup asing di telinga kita. Masyarakat Jawa khususnya mengistilahkan Nusyuz dengan purik . Mudahnya, nusyuz  ini disebut dengan penentangan istri. Dalam pengertiannya di sebutkan bahwa nusyuz adalah

ارتفاعها عن اداء الحقّ الواجب عليها

          Yang diartikan tidak maunya seorang istri melaksanakan hak yang wajib ia penuhi. Masing-masing dari istri maupun suami memiliki hak yang wajib dipenuhi. Dan ketika seorang istri tidak mau memenuhinya, maka disebut sebagai nusyuz.

Ketika seorang istri nusyuz , maka ia tidak berhak pula mendapatkan nafkah dari suaminya. Nusyuz sendiri, merupakan salah satu hal yang harus sangat dijauhi. Sebab menjadi sesuatu yang sangat tidak baik dalam perjalanan bahtera rumah tangga pernikahan.

Dalam kitab fathul qarib  dijelaskan beberapa hal mengenai nusyuz.

 (و اذا خاف ) الزوج (نشوز المرأة)  وفي بعض النسخ واذا بان نشوز المرأة اي ظهر (وعظها) زوجها بلا ضرب ولا هجر لها. كقوله لها اتقي الله في الحقّ الواجب لي عليك واعلمي انّ النشوز مسقط للنفقة و القسم

          “Ketika suami khawatir istrinya nusyuz dalam sebagian redakti dengan ungkapan :”ketika nampak bahwa istri nusyuz”, maka suami berhak member nasehat dengan tanpa memukul dan tanpa diam tidak menyapa. Seperti ucapannya pada istri : “Takutlah engkau kepadda Allah SWT dengan hak yang wajib bagimu untukku. Dan ketahuilah sesungguhnya nusyuz  bisa menggugurkan kewajiban nafkah dan menggilir”

Maksudnya adalah bahwa ketika terlihat tanda-tanda istri nusyuz atau muncul keretakan atau pun masalah dalam rumah tangga yang disebabkan oleh nusyuznya istri, maka hendaklah diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Suami boleh member nasehat bahkan dengan memberikan sedikit ancaman bahwa nusyuz  bisa menggugurkan nafkah suami atas istri baik nafkah lahir maupun batin. Namun sangat dilarang untuk memukul istri. Bahkan suami pun tidak boleh untuk mendiaminya.

Jadi, sebaiknya jika terjadi permasalahan tersebut, suami harus bisa membicarakannya dengan istri secara baik-baik. Sehingga rumah tangga bisa kembali harmonis.

            وليس الشتم للزوج من النشوز بل تستحق به التأديب من الزوج في الاصح و لا يرفعها الى القاضي

          “Mencaci suami bukanlah termasuk nusyuz, namund engan hal itu istri berhak mendapat pengajaran sopan santun oleh suami menurut pendapat ashah. Dan tidak perlu melaporkannya pada seorang qadli.”

Jadi sebagaimana sudah disebutkan di depan, bahwa nusyuz adalah ketika istri tidak mau memenuhi haknya. Sedangkan ketika istri mencaci suami, bukanlah termasuk kedalam apa yang disebutkan sebagai nusyuz.

Namun, ketika terjadi istri mencaci suami, maka suami berhak menasehati berkaitan dengan sopan santun dan tidak perlu melaporkannya kepada hakim.

(فان ابت) بعد الوعظ (الا النشوز هجرها) في مضجعها وهو فراشها فلا يضاجعها فيه.

          “Jika setelah dinasehati ia tetap nusyuz maka suami mendiamkannya di tempat tidurnya, sehingga ia tidak menemaninya di tempat tidur.”

Jika setelah terlihat bahwa istri nusyuz dan suami sudah menasehati tapi tidak juga digubris oeh istri, maka yang harus dilakukan oleh suami adalah cukup mendiamkannya di tempat tidur. Bukan mendiamkan tanpa menyapa ataupun benar-benar mendiaminya tanpa mengajak bicara. Sebab hal tersebut bilamana sampai lebih dari tiga hari, maka sudah dihukumi haram.

وهجرانها بالكلام حرام فيما زاد على ثلاثة ايام

          “Mendiamkan tidak menyapanya dengan ucapan hukunnya haram dalam waktu lebih dari tiga hari.”

وقال في الروضة انه في الهجر بغير عذر شرعيّ والا فلا تحرم الزيادة على ثلاثة ايام

          “Imam Nawawi berkata di dalam kitab ar Raudlah : ‘sesungguhnya hukum daram tersebut adalah dalam permasalahan tidak menyapa tanpa ada udzur syar’i. jika tidak demikian maka hukumnya tidak haram lebih dari tiga hari”

Jadi, ketika suami sampai mendiamkan istri tanpa menyapa sampai lebih dari tiga hari, maka hukkumnya adalah haram. Oleh sebab itulah, ketika istri nusyuz maka cukuplah suami mendiamkannya di tempat tidur, dan masih tetap menyapa kepada istri.

(فإن اقامت عليه) اي النشوز بتكرره منها (هجرها وضربها) ضرب تأديب لها وان افضى الى التلف وجب الغرم (ويسقط بالنشوز قسمها ونفقتها)

          “Jika istri tetap nusyuz dengan berulang kali melakukannya, maka suami berhak tidak menyapa dan memukulya dengan model pukulan mendidik (bukan pukulan yang dapat melukainya) pada istri. Dan jika pukulan tersebut menyebabkan luka atau kematian, maka wajib bagi suami untuk mengganti rugi. Sebab nusyuz gilirn dan nafkah bagi istri menjadi gugur”

Jika terjadi istri nusyuz kemudian di nasehati oleh suami, sembuh. Lalu ia kembali melakukan nusyuz  dan terus berulang berkali-kali, maka suami berhak untuk tidak menyapa atau mendiamkannya. Bahkan suami berhak untuk memukul istri. Dengan syarat menggunakan pukulan yang mendidik, bukan pukulan dengan tujuan menyiksa. Jika suami kemudian kebablasan hingga menyebabkan cacat atau luka, maka suami wajib ganti rugi, atau wajib bertanggung jawab atas hal tersebut.

Sebab sekali lagi, ketika terjadi istri nusyuz  yang gugur adalah nafkah bagi istri, dan juga kewajiban suami untuk menggauli istri.

Menahkodai bahtera rumah tangga memang bukanlah sebuah hal yang mudah. Perlu adanya antara suami dan istri untuk saling menjaga satu sama lain. Sehingga mampu terjalin hubungan yang harmonis. Dan hal tersebut menjadi wajib agar tidak menimbulkan madzarat.

Antara suami dan istri harus saling memiliki rasa pengertian terhadap yang lain. Missal, istri tidak meminta sesuatu yang berlebihan kepada suami, dan juga suami harus bisa member kebahagiaan kepada istri, sehingga bahtera bisa berlayar dengan damai dan harmonis.

Scroll to Top