Kajian Kitab Ushfuriyah (Hadits 6) : “Kisah Taubat si Majusi” – Ustadz Makinun Amin, S.Pd

Kajian Kitab Ushfuriyah (Hadits 6) : “Kisah Taubat si Majusi” – Ustadz Makinun Amin, S.Pd

عَنْ أَبِي نَصْرٍ الْوَاسِطِيّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا رَجَاءٍ الْعَطَارِدِيّ تُحَدِّثُ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَتَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ تَقُوْلُ مِنَ الْجُمْعَةِ إِلَى الْجُمْعَةِ وَمِنَ الصَّلَاةِ إِلَى الصَّلَاةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ لِمَنْ اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ ، ثُمَّ زَادَ فَقَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ وَالْمَشْيُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ وَكُلُّ قَدَمٍ مِنْهَا كَعَمَلِ عِشْرِيْنَ سَنَةً فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الْجُمْعَةِ أُجِيْزَ بِعَمَلِ مِائَتَيْ سَنَةٍ . رَوَى هَذَا الْحَدِيْثَ اَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ .

 

“Dari Abu Nashir Al Wasiti ia berkata; Aku mendengar Abu Raja’ Al ‘Atharidi menyampaikan hadits dari Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu bahwasanya seorang A’rabiy (orang ‘Arab pedalaman) datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; Telah sampai kepadaku bahwasanya engkau bersabda; Dari jum’at ke jum’at dan dari shalat ke shalat adalah sebagai pelebur dosa yang berada di antara keduanya bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab; “Ya”. Kemudia beliau menambahkan sabdanya; “Mandi pada hari jum’at adalah sebagai kafarat (pelebur dosa), berjalan ke jum’atan adalah sebagai kafarat dan tiap-tiap langkahnya seperti ber‘amal dua puluh tahun, lalu setelah selesai dari jum’atan ia akan di balas dengan pahala ber’amal 200 tahun”. Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu.”

 

Di zaman Malik bin Dinar ada dua orang bersaudara sama-sama memeluk agama Majusi yang menyembah api. Yang satu berusia 73 tahun dan yang satu lagi berusia 35 tahun. Kemudian sang adik berkata kepada sang kakak; “Kemarilah sehingga kita mengadakan uji coba, apakah api yang kita sembah selama ini akan memuliakan kita ataukah akan membakar kita seperti halnya api lain yang tidak di sembahnya. Apabila api yang kita sembah ini memuliakan kita, maka kita akan terus menyambahnya, namun apabila tidak, maka kita tidak akan menyembahnya lagi?.” Kakak menjawab; “Baiklah”.

Lantas keduanya menyalakan api sesembahannya. Kemudian adik berkata; “Apakah engkau yang memasukkan tanganmu, ataukah aku saja?” Kakak menjawab; “Biarlah engkau saja yang memasukkan tanganmu.” Lantas si adik memasukkan tangannya. Seketika api membakar jari-jarinya hingga dia menjerit; “Aww…!” Lalu dia segera menarik tangannya. Dan berkata; “Wahai api! 35 tahun lamanya aku menyembahmu, namun engkau masih saja menyakitiku.” Dia melanjutkan; “Wahai saudaraku! Mari kita tinggalkan api ini hingga kita menyembah Tuhan yang Esa yang sekiranya kita berdosa dan mengabaikan perintahnya selama 500 tahun misalnya, Tuhan yang Esa itu tetap memberikan ampunan dan mema’afkan kita dengan ber’amal sesa’at dan sekali istighfar.”

Lantas kakak menyetujui usulan adiknya dan berkata; “Mari kita pergi mencari orang yang dapat menunjukkan kita kejalan yang benar dan mengajari kita tentang agama Islam.” Mereka berdua sepakat menemui Malik bin Dinar untuk mengajarinya tentang agama Islam. Kemudian mereka berangkat mendatangi Malik bin dinar yang sa’at itu dia berada di pasar kota Kufah sedang duduk menghadap perkumpulan orang banyak memberi mau’idzah kepada mereka. Ketika tatapan mereka berdua terarah ke Malik bin Dinar, sang kakak berkata kepada adiknya; “Telah bulat bagiku bahwa aku tidak akan masuk Islam, karena sebagian besar usiaku telah aku habiskan untuk menyembah api, dan apabila aku masuk Islam, memeluk agama Muhammad, keluargaku dan tetanggaku pasti menghinaku, maka bagiku api neraka lebih aku sukai daripada penghinaan mereka.” Adik berkata; “Jangan engkau lakukan itu, karena penghinaan mereka tidak lama pasti hilang, sedangkan api neraka adalah selama-lamnya dan tidak pernah hilang,” Namun si kakak tidak menghiraukannya. Maka adik berkata; “Wahai orang yang rugi dunia akhirat! Pergilah ! engkau dengan kehendak engkau, namun engkau akan menjadi orang yang celaka bin celaka.” Lalu sang kakak pergi dan gagal untuk masuk Islam.

Kemudian sang adik beserta isteri dan anaknya yang masih kecil pergi bergabung dengan perkumpulan orang-orang itu hingga Malik bin Dinar selesai menyampaikan mau’idzahnya, lantas pemuda itu (adik) berdiri menemui Malik bin Dinar, menyampaikan kisahnya dan memohon agar dia mengajarkan agama Islam kepadanya dan kepada keluarganya. Malik bin Dinar pun mengajarkan Islam kepada mereka, lalu mereka masuk Islam semuanya, disambut tangis bahagia oleh semua orang dalam perkumpulan itu.

Setelah itu pemuda tersebut berpamitan hendak pergi, namun Malik bin Dinar berkata; “Duduklah hingga shahabat-shahabat kami mengumpulkan sesuatu untuk kalian berupa harta duniawi.” Pemuda itu menjawab; “Aku tidak bermaksud untuk menjual agama dengan dunia,” lalu pergi. Kemudian dia masuk ke suatu daerah yang tidak berpenghuni dan menemukan rumah yang telah di bangun, maka dia tinggal di sana bersama keluarganya. Ketika masuk waktu pagi, isterinya berkata kepadanya; “Pergilah ke pasar, carilah pekerjaan dan belikanlah upah pekerjaanmu sesuatu yang dapat di makan.” Pemuda itupun pergi ke pasar, namun tidak seorangpun yang mempekerjakannya. Dia berkata dalam hatinya; “Sampai petangpun aku akan bekerja kepada Allah Ta’ala.” Lantas dia pergi ke suatu masjid yang di tinggalkan oleh jama’ahnya dan mengerjakan shalat di sana karena Allah Ta’ala sampai malam. Lalu pulang kerumahnya dengan tangan kosong. Kemudian isterinya berkata; “Apakah hari ini engkau tidak mendapatkan suatu apapun?” Pemuda itu menjawab; “Wahai isteriku! Hari ini aku bekerja kepada Raja dan Dia belum memberiku upah, mudah-mudahan besok Dia memberiku upah.”

Akhirnya semalaman mereka dalam keadaan kelaparan. Ke esokan harinya pemuda itu pergi lagi ke pasar namun tidak juga mendapatkan pekerjaan, lantas dia pergi ke masjid tersebut dan mengerjakan shalat di sana karena Allah Ta’ala sampai malam. Kemudian pulang dengan tangan kosong. Isterinya berkata; “Apakah hari ini engkau tidak juga mendapatkan suatu apapun?” Pemuda itu menjawab; “Wahai isteriku! Hari ini aku bekerja kepada Raja yang kemaren aku juga bekerja kepadanya, besok adalah hari Jum’at, aku berharap Dia memberiku upah.” Lalu semalaman mereka kembali dalam keadaan kelaparan.

Keesokan harinya yaitu hari jum’at pemuda itu pergi lagi ke pasar namun tidak juga mendapatkan pekerjaan, lantas dia pergi ke masjid tersebut dan mengerjakan shalat dua raka’at kemudian menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdo’a;

إِلَهِي وَسَيِّدِي وَمَوِلَايَ لَقَدْ أَكْرَمْتَنِي بِالْإِسْلَامِ وَتَوَّجْتَنِي بِتَاجِ الْإِسْلَامِ وَهَدَيْتَـنِي بِتَاجِ الْهُدَى فَبِحُرْمَةِ الدِّيْنِ الَّذِي رَزَقْتَنِيْهِ وَبِحُرْمَةِ الْيَوْمِ الْمُبَارَكِ الشَّرِيْفِ الَّذِي قَدْرُهُ عِنْدَكَ عَظِيْمٌ وَهُوَ يَوْمُ الجُمْعَةِ أَسْأَلُكَ أَنْ تَرْفَعَ شُغْلَ نَفَقَةِ عِيَالِي عَنْ قَلْبِي وَتَرْزُقَنِي مِنْ حَيْثُ لَا أَحْتَسِبُ فَأَنَا وَاللهِ أَسْتَحِي مِنْ أَهْلِي وَعِيَالِي وَأَخَافُ عَلَيْهِمْ مِنْ تَغَيُّرِ الْحَالِ لِحِدَائَةِ حَالِهِمْ فِي الْإِسْلِامِ .

“Wahai Tuhanku! Wahai tuanku! Wahai majikanku! Sungguh Engkau benar-benar telah memuliakanku dengan Islam, menobatkanku dengan mahkota Islam dan menunjukkanku dengan petunjuk bagaikan mahkota. Demi kemuliaan agama yang Engkau berikan kepadaku, demi kemuliaan hari yang penuh dengan kebaikan, yang memiliki derajat yang agung di sisi Engkau yaitu hari Jum’at. Aku memohon kepada Engkau agar engkau menghilangkan dari hatiku kesulitan menafkahi keluargaku dan memberiku rizqi yang tidak aku duga sebelumnya, karena demi Allah, aku malu terhadap ahli keluargaku dan aku menghawatirkan mereka dari berubahnya keadaan mereka sebab mereka masih baru dalam Islam”

Kemudian dia berdiri dan menyibukkan diri dengan mengerjakan shalat dua raka’at hingga tengah hari, lantas dia keluar untuk melaksanakan shalat jum’at. Sementara anak isterinya bergumul dengan rasa lapar. Lalu datanglah seorang laki-laki dan mengetuk pintu rumah yang di tempati keluarganya. Lantas isterinya keluar dan ternyata laki-laki itu adalah seorang pemuda yang tampan rupawan membawa setalam emas yang di tutup dengan kain kacu yang di hiasi dengan emas dan berkata kepada isteri pemuda itu; “Terimalah ini dan katakan pada suamimu; Ini adalah upah kerjamu selama dua hari, tingkatkanlah pekerjaanmu maka kami akan menambahkan upah untukmu khususnya pada hari ini yaitu hari Jum’at, karena pekerjaan yang sedikit di hari ini bagi sang Raja Maha Perkasa terhitung banyak.”  Kemudian isteri pemuda itu menerima wadah tersebut yang ternyata berisi seribu Dinar.

Sang istri lantas mengambil satu Dinar dan pergi ke tempat penukaran uang, yang dimiliki oleh orang nashrani. Dinar tersebut di timbangnya, ternyata beratnya lebih satu mitsqol (1.50 Dirham) sampai dua mitsqol. Kemudian orang Nashrani itu memperhatikan ukiran dinar tersebut, hingga ia mengerti bahwa itu adalah sebagian dari hadiah akhirat dan bertanya kepada isteri pemuda itu; “Dari mana engkau mendapatkan Dinar ini?” Isteri pemuda itu lantas menceritakannya. Nashrani itu berkata; “Tunjukkanlah kepadaku tentang Islam.” Setelah di tunjukkan, kemudian Nashrani itu masuk Islam dan memberi isteri pemuda itu uang seribu Dirham lalu berkata; “Belanjakanlah Dirham ini, apabila habis beritahu aku.”

Dan setelah pemuda itu selesai mengerjakan shalat, dia pulang ke rumahnya dengan tangan kosong. Kemudian dia membeberkan sapu tangannya dan memenuhi dengan debu. Hatinya berkata; “Sekiranya isteriku berkata; Apa ini? Aku akan menjawab; Aku membawa tepung.” Ketika dia telah sampai di daerah tak berpenghuni itu, dan dia melihat rumahnya, ternyata telah di siapkan hamparan permadani untuknya dan dia mencium aroma makanan, maka dia menyembunyikan sapu tangannya di balik pintu agar tidak di ketahui oleh isterinya.

Kemudian dia bertanya kepada isterinya tentang hal ini dan apa yang dia lihat di rumahnya. Lalu isterinya menceritakannya, lantas dia bersujud karena bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian isterinya bertanya; “Apa yang engkau bawa dalam sapu tangan itu?” Dia menjawab; “Janganlah engkau bertanya kepadaku.” Lalu isterinya mengambil dan membukanya. Ternyata debu dalam sapu tangan itu berubah menjadi tepung dengan idzin Allah Ta’ala. Lantas dia kembali bersujud karena bersyukur dan menghambakan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla hingga wafat.

Ibrah yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah, bahwasanya Rahmat dan kasih sayang Allah tidak terbatas kepada seberapa lama kita telah memeluk islam. Rahmat Allah sangatlah luas bagi mereka yang ikhlas mengabdi kepada-Nya, bagi mereka yang tidak henti mengharap kepada-Nya, bagi mereka yang berpasrah kepada-Nya.

Bahkan seorang yang Majusi selama 35 tahun bisa merasakan rahmat dan kasih sayang Allah yang sedemikian rupa. Kenapa kita yang lahir dalam keadaan muslim tidak bisa ?. coba kita lihat lagi, sudahkah kita berpasrah kepada Allah, atau masih bergantung kepada selain-Nya.

Scroll to Top