“Janganlah karena tiadanya pemenuhan atas apa-apa yang dijanjikan, padahal telah jatuh waktunya, membuatmu ragu terhadap janji-Nya; agar yang demikian itu tidak menyebabkan bashirah-mu buram dan cahaya sirr-mu padam!”
Syarah
Keraguan kita akan janji Allah, sesungguhnya adalah tanda dari kelemahan tauhid, sehingga membuat bashirah menjadi buram dan cahaya sirr (rahasia-rahasia) menjadi padam. Keraguan adalah sesuatu yang berbahaya dalam jalan suluk.
Mengenai bashirah, adalah cahaya untuk melihat Al-Haqq pada segenap ufuk alam semesta. Adapun cahaya sirr merupakan cahaya yang akan menampakan jati diri setiap insan. Rahasia tentang hakikat diri kita, qadha dan qadar, misi hidup, hanya bisa ditampakkan dengan cahaya sirr Allah.
Manusia sebagai hamba tidak mengetahui kapankah Alloh akan menurunkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga manusia jika melihat tanda-tanda ia menduga, mungkin telah tiba saatnya, padahal bagi Alloh belum memenuhi semua syarat yang dikehendaki-Nya, maka bila tidak terjadi apa yang telah diduganya, hendaknya tidak ada keraguan terhadap kebenaran janji Alloh subhanahu wata’ala.
“Kesungguhanmu pada apa-apa yang telah Dia Ta’ala jamin bagimu, dan kelalaianmu pada apa-apa yang Dia Ta’ala tuntut darimu, merupakan bukti atas lenyapnya bashirah darimu!”
Syarah
Bashirah adalah istilah teknis agama untuk “mata hati” yang memiliki fungsi spesifik. Di dalam Al-Quran terdapat banyak kata tentang “bashirah”, misalkan dalam Surah Al-Israa’ [17]: 72 dikatakan, “Dan barangsiapa yang buta (a’maa) di dunia, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat jalannya” . Atau dalam ayat lain disebutkan:
Allah telah mengunci-mati qalb-qalb mereka dan telinga-telinga mereka, dan bashirah-basirah mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. -Q.S. Al-Baqarah [2]: 6
Meski seseorang bisa melihat hingga ke ujung dunia atau dapat menembus langit yang tujuh, namun bila masih bingung dengan kehidupan, maka itu sebuah penanda bahwa bashirah kita masih tertutup.
Karena bashirah itu bukan untuk melihat hal-hal di luar diri, tetapi untuk melihat kebenaran hakikat. Bashirah adalah untuk melihat Al-Haqq dalam segala sesuatu, dalam segenap ufuk dan dalam dirinya. Sebagaimana firman-Nya:
Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada nafs-nafs mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa semua itu adalah Al-Haqq. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? -Q.S. Fushshilat [41]: 53
Siapa saja yang disibukkan mencari apa yang sudah dijamin Alloh seperti rizki, dan meninggalkan apa yang menjadi perintah Alloh, itulah tanda orang yang buta hatinya.
Firman Alloh: “Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak [dapat] membawa [mengurus] rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha mendengar, Maha mengetahui.” [QS. al-Ankabuut 60].
Firman Alloh: “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat [yang baik di akhirat] adalah bagi orang yang bertakwa.” [QS. Thaha 132].
Kerjakan apa yang menjadi kewajibanmu terhadap Kami, dan Kami melengkapi bagimu bagian Kamu.
Di sini ada dua perkara :
Yang dijamin oleh Alloh, maka jangan menuduh atau berburuk sangka kepada Alloh subhanahu wa ta’ala.
2.Yang dituntut [menjadi kewajiban bagimu] kepada Allah, maka jangan abaikan.
Dalam sebuah hadits Qudsy yang kurang lebih artinya: “Hambaku, taatilah semua perintah-Ku, dan jangan memberi tahu kepada-Ku apa yang baik bagimu, [jangan mengajari kepada-Ku apa yang menjadi kebutuhanmu].
Syeih Ibrahim al-Khawwas berkata: “Jangan memaksa diri untuk mencapai apa yang telah dijamin dan jangan menyia-nyiakan [mengabaikan] apa yang diamanatkan kepadamu.” Oleh sebab itu, barangsiapa yang berusaha untuk mencapai apa yang sudah dijamin dan mengabaikan apa yang menjadi tugas dan kewajiban kepadanya, maka buta mata hatinya dan sangat bodoh.
“Istirahatkan dirimu dari tadbiir (melakukan pengaturan-pengaturan)! Maka apa-apa yang selainmu (Allah) telah melakukannya untukmu, janganlah engkau (turut) mengurusinya untuk dirimu.”
Syarah
Tanpa kita sadari, banyak hal yang telah Allah atur untuk diri kita. Jaringan syaraf yang terus bekerja, paru-paru yang memompa udara, oksigen yang kita hirup dengan leluasa, rizki yang kita makan, dan banyak hal lain yang sesungguhnya telah Allah atur untuk setiap manusia. Maka kita tidak perlu terlalu khawatir, takut, turut serta melakukan pengaturan untuk diri kita sendiri, dan bertawakallah! Sebagaimana firman-Nya:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.. – Q.S. Al-A’raaf [7]: 96
Yang di maksud TADBIIR (mengatur diri sendiri)dalam hikmah ini yaitu Tadbir yang tidak di barengi dengan Tafwiidh (menyerahkan kepada Alloh). Apabila Tadbir itu dibarengi dengan Tafwidh itu diperbolehkan, bahkan Rosululloh bersabda: At-tadbiiru nishful ma-‘isyah.(mengatur apa yang menjadi keperluan itu sebagian dari hasilnya mencari ma’isah/penghidupan).
Hadits ini mengandung anjuran untuk membuat peraturan didalam mencari fadholnya Alloh. pengertian Tadbir disini ialah menentukan dan memastikan hasil. karena itu semua menjadi aturan Alloh.
al-hasil, Tadbir yang dilarang yaitu ikut mengatur dan menentukan/memastikan hasilnya.
Sebagai seorang hamba wajib dan harus mengenal kewajiban, sedang jaminan upah ada di tangan majikan, maka tidak usah risau pikiran dan perasaan untuk mengatur, karena kuatir kalau apa yang telah dijamin itu tidak sampai kepadamu atau terlambat, sebab ragu terhadap jaminan Allah tanda lemahnya iman.
“Kekuatan himmah-himmah tidak akan mampu mengoyak tirai qadar-qadar.”
Syarah
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Hikam Pasal 2, himmah adalah sebuah tarikan ke atas, keinginan menuju Allah, merupakan lawan kata dari syahwat. Adapun pengertian sawaabiqu (dari akar kata sabaqa) bermakna kekuatan atau perlombaan satu akar kata dengan istilah musabaqah.
Pengertiannya adalah bahwa sekalipun seseorang memiliki himmah yang sangat kuat, namun pencapaian dalam bersuluk itu sudah ditentukan kadarnya, porsinya, dan waktunya. Segala sesuatu sudah ditentukan takdirnya. Bersuluk itu pada intinya adalah berserah diri kepada Allah; pencapaian dalam jalan suluk tidak dapat dipercepat maupun diperlambat.
kekeramatan atau kejadian-kejadian yang luar biasa dari seorang wali itu, tidak dapat menembus keluar dari takdir, maka segala apa yang terjadi semata-mata hanya dengan takdir Alloh.”
Hikmah ini menjadi ta’lil atau sebab dari hikmah sebelumnya (Iroodatuka tajriid) seakan akan Mushonnif berkata: Hai murid, keinginan/himmahmu pada sesuatu, itu tidak ada gunanya, karena himmah yang keras/kuat itu tidak bisa menjadikan apa-apa seperti yang kau inginkan, apabila tidak ada dan bersamaan dengan taqdir dari Alloh. Jadi hikmah ini (Sawa-biqul himam) mengandung arti menentramkan hati murid dari keinginannya yang sangat kuat.
SAWAA-BIQUL HIMAM (keinginan yang kuat): apabila keluar dari orang-orang sholih/walinya Alloh itu disebut: Karomah. Apabila keluar dari orang fasiq disebut istidroj/ penghinaan dari Alloh.
Firman Allah subhanahu wata’ala: “Dan tidaklah kamu berkehendak, kecuali apa yang dikehendaki Alloh Tuhan yang mengatur alam semesta.” [At-Takwir 29]. “Dan tidaklah kamu menghendaki kecuali apa yang dikehendaki oleh Alloh, sungguh Alloh maha mengetahui, maha bijaksana.” [QS. Al-Insaan 30].
“Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi.”
Syarah
Dalam pasal ini, Ibnu Atha’illah menggunakan beberapa istilah baku dalam khazanah sufi, yang harus dipahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah itu adalah: tajrid, asbab, syahwat danhimmah.
Tajrid secara bahasa memiliki arti: penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa dikatakan sebagai pemurnian jiwa.
Asbab secara bahasa memiliki arti: sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab akibat. Semisal Iskandar Zulkarnain yang Allah tempatkan sebagai raja di dunia, mengurusi dunia sebab-akibat.
Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti: tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa-nafsu (disingkat “nafsu”) adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.
Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah.
Adakalanya Allah menempatkan seseorang dalam dunia asbab dalam kurun tertentu-misalnya, untuk mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara. Bila seseorang sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid (misalkan dengan ber-uzlah), maka itu dikatakan sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya, saat Allah menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka itu merupakan sebuah kejatuhan dari keinginan yang tinggi.Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha [Tajrid]. Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban.
Syeikh Ibnu ‘Atoillah berkata : “Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- mursy. Aku merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guru bercerita: Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu. Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam bersuluk, agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Semua kehendak seorang salik haruslah bekesesuaian dengan Kehendak Allah.
Sebagai seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan berfikir tentang ayat-ayat Alloh, dan beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu hanya untuk beribadah(menghamba) kepada Alloh,sesuai tuntunan Al-qur’an.
Tetapi setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepoti/mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja(kasab). Lalu berkeinginan lepas dari kasab/usaha dan hanya ingin melulu beribadah.
Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi/samar.
Sebab kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apa lagi kalau majikan itu adalah Alloh yang maha mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hambanya.
Dan tanda-tanda bahwa Alloh menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha [kasab], apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak tamak [rakus] terhadap milik orang lain.