Guru Mendidik Santri Harus Dengan Ruh dan Batin

Pendidikan adalah ruh peradaban. Esensi kemanusiaan adalah pendidikan. Bedanya manusia dengan makhluk lain adalah karena manusia terdidik.

Bahkan dialog pertama antara manusia dengan Tuhannya adalah soal pengajaran dan pendidikan.

(وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ) [سورة البقرة 31]

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!

(قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ) [سورة البقرة 32]

“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

“Mengajarkan kepada Adam nama-nama benda-benda” artinya Allah sendiri yang langsung mengajarkan pada manusia sebelum kepada malaikat.

Ini diperkuat lagi dengan wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW. “Iqra”: bacalah. Membaca adalah media paling penting membuka ilmu dan cakrawala berpikir. Artinya, wahyu pertama berbicara tentang ilmu pengetahuan. Mengapa bukan perintah shalat atau yang lainnya?

Shalat tanpa ilmu apa bisa? Beragama tanpa ilmu malah bisa salah. Memahami dunia dan jagat raya pun demikian, harus pakai ilmu. Bahkan, mengenal dan memahami Allah pun harus dengan ilmu.

Jadi, wahyu pertama perintah membaca: “iqra” adalah logis sekali. Pertanyaannya: mengajak orang membaca bukanlah tugas utama seorang guru? Lewat guru berbagai ilmu pengetahuan bisa masuk kepada seseorang.

Akan tetapi, guru bukan sekedar mengajar, tetapi juga mendidik. Mengajar menyampaikan ilmu, sedangkan mendidik menanamkan nilai-nilai. Mendidik butuh keteladanan. Maka, guru yang tidak bisa menjadi teladan, lebih baik pensiun saja segera, karena ini penting sekali bukan sekedar ilmu tapi akhlak. Ilmu tanpa akhlak apa jadinya? Ilmu tanpa akhlak malah bisa merusak.

Itulah sebabnya, Rasulullah SAW kemudian menegaskan dalam sabdanya yang sangat masyhur:

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”

Bahkan, ada hadis lain lebih spesifik lagi:
إنما بعثت معلما
“Sesungguhnya aku diutus untuk menjadi guru”

Maka, berbahagialah wahai para guru, karena jika guru itu dipandang sebagai sebuah profesi, Rasulullah mendeklarasikan dirinya sebagai guru.

Jadi, kita ini sama dengan Rasulullah dari sisi fungsi dan peran: mengajar dan mendidik, menyampaikan ilmu dan menanamkan akhlak kepada manusia.

Oleh karenanya, bisa dipahami jika Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa guru itu hakekatnya hampir seperti seorang Nabi.

كاد المعلم أن يكون نبيا
“Guru (ibaratnya) hampir saja diangkat menjadi seorang nabi”

Maka, sekali lagi: guru harus bisa menjadi teladan dan menjadi sumber inspirasi bagi murid-muridnya.

Tripusat pendidikan, yaitu rumah, sekolah dan masyarakat harus bisa bersinergi dan berkolaborasi dalam mendidik anak-anak. Seorang anak saat di rumah adalah anak bapak ibunya; di sekolah adalah anak gurunya; dan di lingkungan adalah anak masyarakatnya. Semuanya harus kompak mendidik dan menunjukkan jalan pada kebaikan. Jangan sampai terjadi, yang satu mendidik dan membina menjadi baik, yang satu lagi malah merusaknya.

Inilah salah satu problem sekolah berjarak. Anak-anak di rumah ditanamkan nilai-nilai A, misalnya, di sekolah pun demikian, tetapi dari rumah ke sekolah karena berjarak setiap hari dia melihat nilai-nilai jalanan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan di rumah atau di sekolah tadi.

Ada teori baru bahwa semakin lama anak berada di jalan karena jarak rumah dan sekolah yang jauh, maka potensi merusaknya semakin besar. Sehingga di beberapa negara maju, dan ini juga mulai diterapkan di beberapa daerah di Indonesia, zonasasi pendidikan, supaya jaraknya semakin pendek.

Maka, pola pesantren itu sebetulnya hanya menggabungkan tri pusat pendidikan menjadi satu. Peran dan fungsi rumah, sekolah dan masyarakat diambil alih semua. Maka, ini tantangan terberat pesantren.

Pendidikan itu sebetulnya intinya adalah how to touch: bagaimana menyentuh. Guru harus melakukan sentuhan-sentuhan pada murid.

Ada 4 sentuhan yang harus diperankan guru kepada murid-muridnya:
– sentuhan intelektual
– sentuhan pergerakan
– sentuhan fisik
– sentuhan spiritual

Maka, guru harus intelek dan berwawasan. Guru harus aktif bergerak dan dinamis, jangan nampak loyo dan tidak bergairah karena akan dilihat oleh anak-anak.

Sentuhan fisik seperti salaman, mengusap kepala, itu jangan ditinggalkan. Murid yang menyalami gurunya itu ada berkahnya, dan malaikat ikut mendoakan. Salaman ini tidak tergantikan.

Sentuhan spiritual misalnya guru mendoakan murid, demikian pula murid mendoakan guru. Setiap habis shalat, saat buka puasa, atau di waktu-waktu mustajab lainnya, sempatkan mendoakan murid-muridnya, jika perlu sebut beberapa nama tertentu yang memang butuh perhatian khusus.

Persiapan guru dalam mendidik dan mengajar, apa? Apakah sekedar RPP? Atau persiapan-persiapan fisik lainnya? Itu penting, tapi ada yang lebih penting yaitu persiapan batin dan ruh.

Minimal sebelum mengajar berdoa dulu mohon kepada Allah, agar Allah memudahkannya dalam menyampaikan ilmu dan menanamkan akhlak, dan agar Allah membukakan pintu hidayah kepada para muridnya itu. Jika perlu, awali dengan shalat atau setidaknya dzikir.

(هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ)
[الجمعة 2]

(هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ)
[سورة الجمعة 2]

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”

(كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ)
[سورة البقرة 151]

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Perhatikanlah kedua ayat di atas: mengajar disebutkan setelah menyucikan diri. Artinya, guru yang akan mengajar harus melakukan proses penyucian diri dulu. Dengan kata lain, jangan sampai guru mengajar murid sementara hatinya masih kotor, batinnya masih galau, dan ruhnya bukan ruh guru yang mendidik.