Pondok Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan da’wah bagi umat Islam tertua di Indonesia yang sudah mapan sejak zaman penjajahan. Lembaga ini terus berkembang dari masa ke masa hingga saat ini. Perkembangan tersebut telah berlangsung sedemikian kompleknya sehingga kini sulit bagi kita untuk dapat merumuskan

suatu diskripsi tentang Pondok Pesantren secara tepat dan utuh. Melihat latar belakang mengenai keanekaragaman Pondok Pesantren serta kekhususannya, proses penyelenggaraanya serta strateginya dalam menjawab tantangan dan tuntutan zaman. Maka ia tidak dapat begitu saja digeneralisasikan.

Banyak para pengamat yang memberi komentar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang memberi gambaran terhadap Pondok Pesantren dari segi bangunan fisiknya. Tentu saja penilaian semacam ini tidak mengena, sebab nilai Pondok Pesantren terletak pada jiwanya. Yaitu ruh yang mendasari seluruh aktivitas yang dilakukan oleh segenap keluarga Pondok Pesantren. Ruh tersebut dirumuskan dalam “ PANCA JIWA PONDOK PESANTREN “ yaitu;

a. Jiwa Keikhlasan

Jiwa Keikhlasan adalah jiwa yang mendorong timbulnya suatu amal yang memperoleh keuntungan uhrowi, semata–mata mengharap ridho Allah belaka, bukan mengejar keuntungan duniawi. Allah akan menilai setiap perbuatan manusia dari dimensi keihkhlasannya. Amal yang tidak didasari oleh keikhlasan

b. Jiwa Kesederhanaan

Jiwa kesederhanaan adalah jiwa yang mendorong seseorang untuk bisa hidup bersama tanpa kemewahan. Kehidupan Pondok disamping diliputi rasa keikhlsan juga diwarnai oleh rasa dan suasana kesederhanaan yang bersemayang pada dirinya. Dibalik kesederhanaan itu tersimpan kekuatan dan ketabahan hati serta penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup dengan segala kesulitannya.

Orang kaya yang hidup sederhana adalah orang yang berjiwa besar, berani maju dalam setiap perjuangan dengan sejuta tantangan dan pantang mundur dalam setiap keadaan.

Jadi mendidik para santri untuk hidup sederhana pada hakekatnya adalah memberikan senjata kepada mereka untuk menyongsong kemenangan hidup atau menggapai kehidupan yang sukses di masa tua.

c. Jiwa Kemandirian

Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri yaitu jiwa yang menimbulkan pada seseorang sikap hidup tanpa mengandalkan ketergantungannya kepada orang lain. Setiap santri dididik untuk mengurus segala kepentingannya sendiri. Pakaian yang kotor dicuci sendiri, kamar yang kotor disapu sendiri, pengeluaran uang sendiri.

Didikan ini merupakan senjata hidup yang ampuh dan amat sesuai dengan etos kerja Islam. Di samping pendidikan mandiri kepada para santri Pondok Pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain. Itulah yang dikenal dengan “Zelf  Berdruiping System” (sama – sama memberikan iuran dan sama–sama memakainya).

Ini bukan berarti bahwa Pondok bersifat kaku sehingga tidak mampu menerima bantuan orang lain. Bantuan tetap diterima dengan tangan terbuka sepanjang hal tersebut tidak mengikat.

d. Jiwa Ukhuwah Islamiyah

Kehidupan di Pondok Pesantren dijalin oleh ikatan persaudaraan yang akrab, sehingga kesenangan dirasakan bersama, semua kesulitan ditanggung bersama. Konsep hidup secara kekeluargaan yang tertuang dalam ayat yang diterjemahkan dalam kehidupan Pesantren secara nyata. Segala bentuk kabut fanatisme (fanatisme golongan, kesukuan dan lain–lain) sirna ditelan cahaya Ukhuwah Islamiyah yang mampu menembus setiap pojok–pojok kehidupan Pesantren.

Jiwa Ukhuwah Islamiyah ini bukan saja mendasari kehidupan santri selama di Pondok Pesantren, tetapi juga mempengaruhi kehidupan mereka setelah terjun di masyarakat luas. Ukhuwah ini sangat penting untuk mewujudkan persatuan umat. Persatuan umat hanya menjadi slogan kosong manakala Ukhuwah Islamiyah ini tidak tertanam pada diri setiap muslim.

e. Jiwa Kebebasan

Jiwa bebas ini adalah jiwa yang terikat mati atau tidak terjajah oleh suatu kekuatan tertentu. Di Pondok Pesantren para santri diberi kebebasan yang seluas–luasnya. Mereka dididik untuk bebas berfikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depannya, dalam memilih jalan hidup di masyarakat kelak.

Hanya saja dalam kebebasan ini sering kita temui unsur negatif, yaitu bila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga kehilangan prinsip serta arah dan tujuan. Ada orang yang terlalu bebas untuk melakukan kesalahan, sehingga tidak mau dipengaruhi oleh kebenaran yang datang dari orang lain. Sehingga  teguh  pada  kekeliruan  yang  telah  mentradisi    pada dirinya yang dianggap sebagai kebenaran, sehingga tidak mau menoleh kepada arah sekitarnya dan tidak mau mempertimbangkan masa depannya, akhirnya Ia tidak bebas lagi, karena hanya mengikat diri pada kekeliruannya.

Maka kebebasan harus dikembalikan pada aslinya, yaitu bebas dalam garis–garis disiplin yang positif dengan penuh tanggung jawab, bebas dari dominasi hawa nafsu yang senantiasa menyeret ke arah kejahatan